Pagelaran
ini dimulai dengan tari-tarian. Kemudian para penari bak kerasukan roh
halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Di
saat para penari bergerak mengikuti irama musik dari jenis alat musik
jenis alat gamelan seperti saron, kendang, dan gong ini, terdapat pemain
lain yang mengawasi dengan memegang pecut atau cemeti.
Setelah beberapa saat satu per satu penari akan mengalami apa yang disebut trance atau kesurupan (kondisi tidak sadarkan diri tetapi tetap menari). Disinilah pertunjukan mulai seru karna para penari yang kesurupan tersebut biasanya akan melakukan gerakan-gerakan akrobatik seperti, mengunyah beling, mengupas kelapa dengan gigi, bahkan tak jarang penari yang kesurupan ini meminta sesuatu yang aneh-aneh seperti kemenyan, kembang, daun-daun tertentu, meminta bertemu dengan orang tertentu, meminta air dari sumber tertentu dan sebagainya. Kalo permintaan mereka tidak dituruti, biasanya mereka akan berlari keluar arena untuk mencari sendiri apa yang diinginkanya.
Saat para penari mulai kesurupan, munculah tokoh penthul dan tembem. Penthul dan tembem ini fungsinya sebagai pamomong para penari yang mulai kesurupan tersebut.
Menurut beberapa kalangan, kesenian jathilan ini mulai tumbuh subur pada masa perjuangan Pangeran Diponegoro (1825 – 1830). Konon kesenian jathilan ini digunakan para pengikut Diponegoro untuk menjalankan misi intelijen yang ketika itu sedang berperang melawan Belanda (VOC). Adalah penthul dan tembem, tokoh yang menjadi kunci dalam menjalankan misi intelijen ini. Gerak geriknya yang lucu dan bebas bergerak kesana kemari membuat kedua tokoh ini leluasa untuk mengamati lingkungan atau berhubungan dengan sesama pengikut Pangeran Diponegoro. Untuk memuluskan aksinya mereka biasanya menggunakan sandi-sandi tertentu.
Bagi kami, yang versi aslinya adalah yang terbaik, dan di Desa Pilangrejo masih banyak kelompok kesenian Jathilan yang bertahan dengan versi aslinya.
0 komentar:
Posting Komentar